Kebencanaan dan Manajemen Bencana
1. Definisi dan Klasifikasi Bencana
Menurut UU no. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat. Bencana diklasifikasikan menjadi 3, alam, non-alam, dan sosial.
- Bencana alam disebabkan karena faktor alam, antara lain yaitu gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah langsor.
- Bencana non-alam disebabkan karena faktor non-alam, meliputi gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
- Bencana sosial disebabkan oleh manusia, mencakup konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror.
2. Manajemen Bencana
2.1. Konsep Manajemen Bencana
Manajemen bencana adalah sistem dan pengetahuan yang berfungsi untuk membentuk kerangka kerja dalam suatu komunitas dengan tujuan pengurangan risiko bencana. Risiko bencana merupakan fungsi dari bahaya, kerentanan, dan kapasitas yang ada di lingkungan masyarakat tersebut.
- Risiko: potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat.
- Bahaya: disebut juga hazard atau ancaman (threat). Merupakan suatu kejadian atau peristiwa yang bisa menimbulkan bencana.
- Kerentanan (vulnerability): karakteristik objek terkena bencana yang meningkatkan risiko yang mungkin timbul akibat bencana. Kerentanan di antaranya meliputi kualitas struktur bangunan yang buruk, komposisi masyarakat yang memiliki banyak penduduk usia rawan, dan kohesi masyarakat yang rendah.
- Kapasitas: kebalikan dari kerentanan, yaitu karakteristik objek terkena bencana yang mengurangi risiko yang mungkin timbul akibat bencana. Contoh kapasitas adalah kualitas jaringan peringatan dini yang baik, masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan tinggi, dan tingginya jaminan asuransi. Kapasitas mencakup kemampuan menahan dan menghadapi bahaya, serta kemampuan pulih kembali (daya lenting) setelah bencana terjadi.
Risiko memiliki hubungan berbanding lurus dengan bahaya dan kerentanan serta berbanding terbalik dengan kapasitas.
\[R= \frac{H \times V}{C}\]R = risiko, H = bahaya, V = kerentanan, C = kapasitas
Seluruh lokasi di Bumi memiliki bahaya tertentu, sehingga usaha penanggulangan bencana hanya bisa mengurangi dan tidak bisa menghilangkan ancaman bencana. Setiap lokasi memiliki kerawanan terhadap bencana tertentu. Kerawanan adalah tingkat intensitas bahaya yang dapat terjadi di suatu lokasi.
Suatu peristiwa, terutama fenomena alam, dapat menjadi bencana ketika intensitasnya melabihi besaran tertentu, sehingga dapat menimbulkan kerusakan. Intensitas fenomena alam, jika dianalisis secara statistik, akan memiliki peluang tertentu akan terjadi. Fenomena alam dengan intensitas rendah memiliki peluang terjadi lebih tinggi daripada fenomena alam dengan intensitas tinggi. Contohnya, gempa berkekuatan kecil lebih sering terjadi daripada gempa berkekuatan besar.
Peluang terjadinya fenomena alam dengan intensitas tertentu disebut periode ulang. Contohnya, banjir 100 tahun di suatu sungai memiliki ketinggian minimal 15 m. Artinya, banjir setinggi minimal 15 m memiliki peluang terjadi sekali selama 100 tahun. Pernyataan tersebut bukan berarti banjir setinggi minimal 15 m hanya terjadi 100 tahun sekali, namun dapat pula berarti terdapat satu periode dengan beberapa banjir 15 m dengan periode cukup panjang tanpa banjir dengan ketinggian minimal tersebut.
Kerangka kerja Sendai (Sendai Framework) untuk pengurangan risiko bencana merupakan dokumen kerangka kerja mitigasi bencana yang diadopsi negara-negara anggota PBB. Dokumen ini berisi langkah-langkah konkret yang dapat digunakan negara untuk melindungi hasil pembangunan dari risiko bencana. Terdapat 4 prioritas dalam dokumen ini, yaitu:
- Pemahaman risiko bencana.
- Penguatan kepemimpinan untuk manajemen risiko bencana.
- Investasi untuk ketangguhan dalam pengurangan risiko bencana.
- Peningkatan kesiapsiagaan bencana untuk respon efektif dan untuk membangun kembali lebih baik (build back better) dalam pemulihan, rehabilitasi, dan rekonstruksi.
2.2. Siklus Manajemen Bencana
Manajemen bencana di Indonesia disebut penanggulangan bencana. Sifat ancaman yang memiliki periode ulang menyebabkan manajemen bencana membentuk suatu siklus. Siklus manajemen bencana terdiri dari 2 tahap, pascabencana dan prabencana.
-
Pascabencana
(1) Tanggap darurat bencana: berfokus pada pencarian dan penyelamatan (Search And Rescue/SAR). Menckup kegiatan pengkajian cepat ancaman dan kerusakan, penanggulangan ancaman lanjutan, dan pemenuhan kebutuhan dasar. Tanggap darurat bencana sedang memiliki periode 7 hari dan bencana besar 14 serta dapat diperpanjang.
(2) Rehabilitasi: pengembalian fungsi dasar infrastruktur dan pelayanan masyarakat. Dapat mencakup pendirian sekolah, pasar, layanan pemerintahan, dan layanan kesehatan darurat.
(3) Rekonstruksi: pembangunan kembali seluruh aspek yang mengalami kerusakan karena bencana. Rekonstruksi dapat masuk ke dalam tahap prabencana ketika dilakukan dengan membangun lebih baik. Waktu yang diperlukan suatu komunitas untuk kembali ke kondisi sebelumnya setelah bencana disebut rebound time (waktu lenting).
-
Prabencana
(1) Mitigasi: usaha pengurangan risiko bencana bagi masyarakat dalam kawasan rawan bencana. Meliputi penataan ruang untuk menghindari kawasan kerawanan tinggi, pengaturan pembangunan, dan pendidikan serta pelatihan mengenai kebencanaan.
(2) Kesiapsiagaan: mencakup penyusunan atau pemasangan serta pengujian rencana penanggulangan, sistem peringatan dini, dan mekanisme tanggap darurat. Selain itu, kesiapsiagaan juga mencakup penyiapan barang dan pasokan pemenuhan kebutuhan dasar dan pemulihan sarana dan prasarana.
(3) Peringatan dini: dilakukan untuk mempersiapkan tindakan tanggap darurat. Mencakup pengamatan gejala bencana, pengambilan keputusan oleh pihak berwenang, penyebarluasan informasi tentang peringatan bencana, dan pengambilan tindakan oleh masyarakat.
gambar ilustrasi sendiri
3. Deskripsi Detail
Deskripsi detail akan membahas bahaya dan usaha mitigasi beberapa jenis bencana. Suatu fenomena dapat menimbulkan bahaya primer dan bahaya sekunder. Bahaya primer adalah bahaya yang timbul saat fenomena berlangsung, misalnya getaran tanah yang menimbulkan ambrukan bangunan saat gempa bumi. Sementara itu, bahaya sekunder adalah bahaya yang timbul karena fenomena tersebut, namun terjadi setelah fenomena berlangsung, misalnya kebakaran yang ditimbulkan oleh gempa bumi.
Usaha mitigasi bencana dapat diklasifikasikan menjadi usaha teknik keras (hard engineering) dan usaha teknik lunak (soft engineering). Hard engineering adalah metode mitigasi yang berupa usaha pembangunan fisik, seperti pembuatan bangunan tahan gempa. Sementara itu, soft engineering adalah metode mitigasi yang tidak berupa usaha pembangunan fisik, seperti pembuatan peraturan kode bangunan tahan gempa.
3.1. Erupsi Gunung Api
Erupsi gunung api adalah proses keluarnya material dari gunung api. Bahaya primer yang dapat muncul dari proses erupsi meliputi di antaranya awan panas, jatuhan material, banjir lahar, dan gas beracun.
- Awan panas: disebut juga wedhus gembel, aliran piroklastik, nuee ardente, dan Pyroclastic Density Current (PDC). Merupakan gabungan material padat gunung api (piroklastik/tefra) dan gas panas yang bergerak menuruni lereng gunung api dengan kecepatan tinggi. Awan panas dapat terbentuk dari material yang langsung dikeluarkan oleh saat erupsi gunung api, hancurnya lereng atas atau sumbat lava gunung api, dan letusan ke arah samping yang menyebabkan hancurnya tubuh gunung api di sisi tersebut. Awan panas menghancurkan, membakar, dan menimbun seluruh area yang dilewatinya. Awan panas cenderung mengalir mengikuti lembah sungai pada lereng gunung api (barranco).
- Jatuhan material: material piroklastik dapat terlempar akibat kekuatan erupsi hingga terbawa angin dan tersebar ke area yang luas. Material tersebut jatuh dalam bentuk hujan kerikil, pasir, atau abu, mengganggu pernafasan, penglihatan, transportasi, hingga merusak struktur bangunan.
- Banjir lahar: seperti banjir bandang, terbentuk dari campuran piroklastik dan air. Banjir lahar sebagai bahaya primer adalah banjir lahar panas, terbentuk dari percampuran material erupsi dengan air di danau kawah. Banjir lahar merusak dan menimbun seluruh objek yang dilewatinya. Banjir lahar juga menimbulkan erosi lembah sungai, mengubah aliran sungai.
- Gas beracun: gunung api di antaranya mengeluarkan gas CO2, belerang, dan uap air. Gas CO2 dapat terakumulasi di lembah, menyebabkan keracunan dan kematian.
Bahaya sekunder proses erupsi gunung api dapat berupa banjir lahar dingin, bahaya yang ditimbulkan dari kerusakan akibat bahaya primer, serta bahaya yang timbul dari proses evakuasi dan pengungsian. Banjir lahar dingin, disebut juga banjir lahar hujan, adalah banjir lahar campuran piroklastik dan air hujan. Air hujan memicu keruntuhan dan membawa material piroklastik lepas-lepas menuruni lereng gunung api. Banjir lahar dingin dapat terjadi beberapa bulan hingga tahun setelah erupsi terjadi.
Intensitas erupsi gunung api diukur dari jumlah material yang dikeluarkan. Skala letusan ini disebut Volcanic Explosivity Index (VEI). Beberapa erupsi terbesar: Toba (VEI 8), Tambora (VEI 7), Krakatau (VEI 6), Vesuvius (VEI 5), Pinatubo (VEI 5) dan Hunga Tonga-Hunga Ha’apai (VEI 5).
Gunung api diklasifikasikan menjadi 3 tipe, aktif (A), dorman (B), dan mati (C). Gunung api aktif adalah gunung api yang memiliki catatan erupsi setidaknya sekali sejak 1600. Gunung api dorman adalah gunung api dengan aktivitas volkanisme, namun tidak memiliki catatan erupsi sejak 1600. Sementara itu, gunung api mati adalah bentuklahan gunung api tanpa aktivitas volkanisme.
Komunikasi bahaya gunung api disampaikan melalui status gunung api. Terdapat 4 status gunung api, normal, waspada, siaga, dan awas.
- Normal: tidak ada gejala aktivitas tekanan magma, gunung api berada pada level aktivitas dasar.
- Waspada: terdapat kenaikan aktivitas di atas level normal, karena aktivitas magma, tektonik, maupun hidrotermal.
- Siaga: terdapat peningkatan intensif menuju kondisi bencana. Terdapat peluang bencana terjadi dalam waktu 2 minggu.
- Awas: gunung api akan segera atau sedang meletus. Terdapat peluang letusan dalam waktu 24 jam. Terdapat kondisi yang dapat segera menimbulkan bencana. Terdapat letusan pembuka berupa abu dan asap.
3.2. Banjir
Terdapat 3 jenis banjir, pluvial, fluvial, dan pesisir. Banjir pluvial disebabkan karena air hujan yang menjadi limpasan permukaan, banjir fluvial disebabkan karena luapan sungai, dan banjir pesisir dapat disebabkan subsidensi daratan ataupun kenaikan permukaan laut akibat pasang tinggi, badai, atau pemanasan global.
Banjir pluvial dapat berbentuk genangan karena kurangnya drainase maupun banjir bandang yang mengalir cepat menuruni lereng curam dan membawa banyak debris. Banjir fluvial memiliki nama lain banjir kiriman sedangkan banjir pesisir juga dinamakan rob. Bahaya primer yang ditimbulkan banjir adalah kerusakan, kesakitan, dan kematian yang timbul dari genangan atau arus air dan material yang terbawa banjir. Sementara itu, bahaya sekunder yang dapat timbul di antaranya polusi air bersih, gagal panen, dan epidemi yang dapat timbul karena degradasi sanitasi.
Manajemen bencana banjir idealnya dilakukan secara menyeluruh pada seluruh bagian Daerah Aliran Sungai (DAS). DAS mencakup seluruh area daratan yang ketika air hujan jatuh di area tersebut, ia akan mengalir melalui 1 sungai dengan 1 muara yang sama. Sistem manajemen ini disebut pengelolaan DAS terpadu (IWM/Integrated Watershed Management).
Secara ekologis, kawasan hulu sungai memiliki fungsi imbuhan air tanah, kawasan tengah memiliki fungsi transportasi, dan kawasan hilir memiliki fungsi pemanfaatan. Oleh karena itu, usaha mitigasi banjir di kawasan hulu difokuskan pada penjagaan tutupan hutan dan peningkatan penyerapan, misalnya menggunakan biopori. Usaha mitigasi kawasan tengah dapat berupa penjagaan aliran sungai dan kawasan penyangga di sekitarnya. Sementara itu, di kawasan hilir, air sungai dimanfaatkan sebesar-besarnya dan surplus air dikelola dengan sebaik-baiknya ditampung dalam reservoir atau dikeluarkan ke laut. Hal ini karena di kawasan hilir, material yang membentuk tanah bertekstur lempung dan muka air tanah dangkal, sehingga tidak mendukung penyerapan ke dalam tanah.
Salah satu faktor paling berpengaruh dalam menyebabkan banjir adalah bentuk dan kemiringan DAS. Bentuk DAS membulat menyebabkan seluruh air dari berbagai anak sungai berkumpul di hilir pada satu waktu, sedangkan pada DAS memanjang, air dari anak sungai akan berangsur-angsur datang, mulai dari anak sungai paling dekat dengan hilir lalu anak sungai yang lebih jauh. DAS yang memiliki kemiringan tinggi akan menyebabkan kecepatan aliran yang lebih tinggi, sehingga air sungai akan meningkat dengan laju lebih cepat.
3.3. Gempa Bumi
Merupakan getaran yang muncul di badan dan permukaan Bumi karena pelepasan energi yang tiba-tiba. Gempa bumi paling banyak terbentuk karena gerakan lempeng Bumi, namun juga dapat terbentuk karena jatuhan dan ledakan. Ketika proses tektonisme menyebabkan batuan bergeser, batuan akan melengkung hingga kemampuan elastisnya terlampaui. Ketika kemampuan elastis tersebut terlampaui, batuan akan patah, dan energi yang muncul dari kembalinya batuan ke kondisi lurus inilah yang menjadi gempa bumi. Mekanisme ini disebut teori elastic-rebound.
Energi gempa bumi merambat di permukaan dan dalam tubuh Bumi melalui beberapa mekanisme. Perambatan energi gempa bumi dalam tubuh bumi dinamakan gelombang badan (body wave) sedangkan rambatan permukaan dinamakan gelombang permukaan (surface wave).
-
Gelombang badan:
(a) Gelombang primer: merambat secara longitudinal, kecepatan paling tinggi
(b) Gelombang sekunder: merambat secara transversal, tidak dapat melalui medium cair.
-
Gelombang permukaan:
(a) Gelombang Rayleigh: gelombang berbentuk memutar.
(b) Gelombang Love: gelombang bergetar ke arah mendatar.
Gempa bumi diukur menggunakan 2 skala: Richter dan Mercalli.
- Skala Richter: skala logaritmik, diukur berdasarkan energi gempa. Disebut juga pengukuran magnitudo gempa. Artinya, nilai skala 6 menunjukkan gempa dengan energi 10 kali lebih besar daripada nilai skala 5.
-
Skala Mercalli: ukuran intensitas dampak gempa bumi. Memiliki nilai 1 - 7, dengan gempa berkekuatan 1 tidak terasa dan 7 menimbulkan kerusakan sangat parah dan gelombang yang hebat. Dikembangkan menjadi Modified Mercalli Intensity (MMI) dengan 12 kategori.
Skala Modified Mercalli Keterangan I Tidak terasa II Dirasakan sedikit orang, terutama pada gedung tinggi. Benda tergantung bergoyang III Dirasakan sedikit orang, seperti getaran truk lewat IV Dirasakan banyak orang. Piring, jendela, pintu, dinding , dan kendaraan bergetar V Dirasakan hampir semua orang. Sebagian piring dan jendela pecah VI Dirasakan semua orang. Lemari bergerak. Sedikit kerusakan pada bangunan VII Kerusakan bangunan ringan pada bangunan dengan kualitas baik, kerusakan parah pada bangunan dengan kualitas buruk. Dapat dirasakan orang dalam perjalanan di kendaraan VIII Sebagian besar bangunan rusak. Air sumur keruh IX Sebagian besar bangunan rusak parah dan terlepas dari pondasi. Terjadi likuefaksi dan kerusakan pipa bawah tanah X Kerusakan bangunan kayu dengan kualitas baik. Rel kereta bengkok. Longsor di banyak tempat XI Kerusakan pada jembatan. Rekahan pada tanah. Pipa bawah tanah tidak dapat diperbaiki XII Kerusakan total. Gelombang gempa tampak di permukaan. Objek di permukaan tanah terlempar
Titik terbentuknya gempa bumi disebut episenter, sedangkan titik di permukaan Bumi tepat di atas episenter disebut hiposenter. Intensitas gempa bumi dipengaruhi kedalaman episenter dan jarak dari pusat gempa. Selain itu, kondisi geologis wilayah juga mempengaruhi intensitas gempa.
Wilayah dengan material sedimen dapat mengalami fenomena amplifikasi gelombang gempa bumi. Amplifikasi terjadi ketika material permukaan memiliki elastisitas lebih tinggi daripada material bawah permukaan, sehingga gelombang membentuk amplitudo yang lebih tinggi di permukaan.
Likuefaksi merujuk pada fenomena berubahnya sifat tanah dari menyerupai padatan menjadi menyerupai cairan. Likuefaksi terjadi ketika getaran gempa menyebabkan berkurangnya gaya gesek antar partikel tanah dan terisinya ruang antar partikel tanah oleh air tanah. Akibatnya, tanah tidak dapat menahan beban permukaan. Manifestasi likuefaksi dapat berupa kegagalan pondasi bangunan, aliran tanah, dan keluarnya air dan lumpur ke permukaan tanah membentuk sand boils.
Korban gempa bumi ditimbulkan karena kegagalan bangunan dan kebakaran. Kejadian gempa bumi yang tiba-tiba menjadikan waktu terjadinya gempa bumi sebagai faktor penentu penting jumlah korban gempa. Gempa bumi yang terjadi di malam hari akan menimbulkan korban lebih banyak daripada siang hari, karena masyarakat tidak dapat merespon gempa secara cepat ketika sedang tidur.
Tsunami adalah gelombang laut dengan panjang gelombang panjang dan kecepatan tinggi yang terbentuk karena perpindahan tiba-tiba air laut. Perpindahan ini dapat disebabkan oleh geseran dasar laut saat gempa bumi ataupun longsor, baik dari permukaan maupun di bawah permukaan laut.